Yudistira
alias Dharmawangsa, adalah salah satu tokoh protagonis dalam wiracarita Mahabharata.
Ia merupakan seorang raja yang memerintah kerajaan
Kuru, dengan pusat pemerintahan di Hastinapura. Ia merupakan yang tertua di antara lima Pandawa, atau para putra Pandu. Dalam tradisi pewayangan, Yudistira diberi gelar prabu dan memiliki julukan Puntadewa, sedangkan kerajaannya
disebut dengan nama Kerajaan Amarta.
Etimologi
Nama
Yudistira dalam bahasa
Sanskerta bermakna "teguh atau kokoh
dalam peperangan". Dalam kitab Mahabharata, ia juga disebut dengan nama Bharata
(keturunan Maharaja Bharata) dan Ajatasatru Ia
juga dikenal dengan sebutan Dharmaraja, yang bermakna "raja Dharma", karena ia selalu berusaha menegakkan dharma sepanjang hidupnya.
Beberapa
julukan lain yang dimiliki Yudhisthira adalah:
Beberapa
di antara nama-nama di atas juga dipakai oleh tokoh-tokoh Dinasti Kuru lainnya,
misalnya Arjuna, Bisma,
dan Duryodana. Selain nama-nama di atas, dalam versi pewayangan Jawa
masih terdapat beberapa nama atau julukan yang lain lagi untuk Yudistira,
misalnya:
·
Yudistira, "pandai memerangi
nafsu pribadi".
·
Gunatalikrama, "pandai bertutur
bahasa".
·
Samiaji, "menghormati orang
lain bagai diri sendiri".
Kelahiran
Yudistira
adalah putera tertua pasangan Pandu dan Kunti.
Kitab Mahabharata
bagian pertama atau Adiparwa
mengisahkan tentang kutukan yang dialami Pandu setelah membunuh brahmana bernama Resi Kindama tanpa sengaja. Brahmana itu terkena
panah Pandu ketika ia dan istrinya sedang bersanggama dalam wujud sepasang rusa. Menjelang ajalnya tiba, Resi Kindama sempat mengutuk Pandu
bahwa kelak ia akan mati ketika mengawini istrinya. Dengan penuh penyesalan,
Pandu meninggalkan tahta Hastinapura dan memulai hidup sebagai pertapa di hutan demi untuk
mengurangi hawa nafsu. Kedua istrinya, yaitu Kunti dan Madri
dengan setia mengikutinya.
Pada
suatu hari, Pandu mengutarakan niatnya ingin memiliki anak. Kunti yang
menguasai mantra Adityahredaya segera mewujudkan keinginan suaminya itu.
Mantra tersebut adalah ilmu pemanggil dewa untuk mendapatkan putera. Dengan menggunakan mantra itu,
Kunti berhasil mendatangkan Dewa Dharma
dan mendapatkan anugerah putera darinya tanpa melalui persetubuhan. Putera pertama itu diberi nama Yudistira. Dengan demikian,
Yudistira menjadi putera sulung Pandu, sebagai hasil pemberian Dharma, yaitu dewa keadilan dan kebijaksanaan. Sifat Dharma itulah
yang kemudian diwarisi oleh Yudistira sepanjang hidupnya.
Versi pewayangan Jawa
Kisah
dalam pewayangan Jawa
agak berbeda. Menurut versi ini, Puntadewa merupakan anak kandung Pandu yang
lahir di istana Hastinapura.
Kedatangan Bhatara Dharma
hanya sekadar menolong kelahiran Puntadewa dan memberi restu untuknya. Berkat
bantuan dewa tersebut, Puntadewa lahir melalui ubun-ubun Kunti. Dalam pewayangan Jawa, nama Puntadewa lebih sering
dipakai, sedangkan nama Yudistira baru digunakan setelah ia dewasa dan menjadi
raja. Versi ini melukiskan Puntadewa sebagai seorang manusia berdarah putih,
yang merupakan kiasan bahwa ia adalah sosok berhati suci dan selalu menegakkan
kebenaran.
Masa kecil dan pendidikan
Yudistira
dan keempat adiknya, yaitu Bima (Bimasena), Arjuna, Nakula,
dan Sadewa kembali ke Hastinapura setelah ayah mereka (Pandu) meninggal dunia. Adapun kelima putera Pandu itu terkenal
dengan sebutan para Pandawa,
yang semua lahir melalui mantra Adityahredaya. Kedatangan para Pandawa membuat
sepupu mereka, yaitu para Korawa
yang dipimpin Duryodana
merasa cemas. Putera-putera Dretarastra itu takut kalau Pandawa sampai berkuasa di kerajaan Kuru.
Dengan berbagai cara mereka berusaha menyingkirkan kelima Pandawa, terutama
Bima yang dianggap paling kuat. Di lain pihak, Yudistira selalu berusaha untuk
menyabarkan Bima supaya tidak membalas perbuatan para Korawa.
Pandawa
dan Korawa kemudian mempelajari ilmu agama,
hukum, dan tata negara daripada Resi
Krepa. Dalam pendidikan tersebut, Yudistira tampil sebagai murid
yang paling pandai. Krepa sangat mendukung apabila tahta Hastinapura diserahkan
kepada Pandawa tertua itu. Setelah itu, Pandawa dan Korawa berguru ilmu perang
kepada Resi Drona.
Dalam pendidikan kedua ini, Arjuna
tampil sebagai murid yang paling pandai, terutama dalam ilmu memanah. Sementara itu, Yudistira sendiri lebih terampil dalam
menggunakan senjata
tombak.
Konflik
memperebutkan kerajaan
Selama
Pandu hidup di hutan sampai akhirnya meninggal dunia, tahta Hastinapura untuk sementara dipegang oleh kakaknya, yaitu Dretarastra, ayah para Korawa. Ketika Yudistira menginjak usia dewasa, sudah tiba saatnya
bagi Dretarastra untuk menyerahkan tahta kepada Yudhisthira, selaku putera
sulung Pandu. Sementara itu putera sulung Dretarastra, yaitu Duryodana berusaha keras merebut tahta dan menyingkirkan Pandawa. Dengan bantuan pamannya dari pihak ibu, yaitu Sangkuni, Duryodana pura-pura menjamu kelima sepupunya itu dalam
sebuah gedung di Waranawata, dimana gedung itu terbuat dari bahan yang mudah
terbakar.Ketika
malam tiba, para Korawa
membakar gedung tempat para Pandawa dan Kunti,
ibu mereka, tidur. Namun, Yudistira sudah mempersiapkan diri karena rencana
pembunuhan itu telah terdengar oleh pamannya, yaitu Widura adik Pandu. Akibatnya, kelima Pandawa dan Kunti berhasil
lolos dari maut. Pandawa dan Kunti kemudian menjalani berbagai pengalaman
sulit.
Pernikahan dengan Dropadi
Setelah
lolos dari jebakan maut Korawa,
para Pandawa dan Kunti pergi melintasi kota Ekachakra, lalu tinggal sementara
di kerajaan Panchala.
Arjuna berhasil memenangkan sayembara di kerajaan tersebut dan memperoleh seorang puteri cantik
yang bernama Dropadi.
Tanpa sengaja Kunti memerintahkan agar Dropadi dibagi lima. Akibatnya, Dropadi
pun menjadi istri kelima Pandawa.Dari
perkawinan dengan Yudistira, Dropadi melahirkan Pratiwindya, dari Bima lahir Sutasoma, dari Arjuna lahir Srutasena, dari Nakula lahir Satanika, dan dari Sadewa lahir Srutakirti.
Versi
Jawa menyebut Dropadi dengan nama "Drupadi". Menurut
pewayangan Jawa, setelah memenangkan sayembara, Arjuna menyerahkan putri itu
kepada Puntadewa selaku kakak tertua. Semula Puntadewa menolak, namun setelah
didesak oleh ibu dan keempat adiknya, akhirnya ia pun bersedia menikahi
Drupadi. Dari perkawinan itu lahir seorang putera bernama Pancawala. Jadi, menurut versi asli, tokoh Dropadi menikah dengan kelima Pandawa, sedangkan menurut versi Jawa, ia hanya menikah dengan Yudistira seorang.
Raja Indraprastha
Setelah
menikahi Dropadi, para Pandawa
kembali ke Hastinapura
dan memperoleh sambutan luar biasa, kecuali dari pihak Duryodana. Persaingan antara Pandawa dan Korawa atas tahta
Hastinapura kembali terjadi. Para sesepuh akhirnya sepakat untuk memberi
Pandawa sebagian dari wilayah kerajaan tersebut.
Korawa
yang licik mendapatkan istana Hastinapura, sedangkan Pandawa mendapatkan hutan
Kandawaprastha sebagai tempat untuk membangun istana baru. Meskipun daerah
tersebut sangat gersang dan angker, namun para Pandawa mau menerima wilayah
tersebut. Selain wilayahnya yang seluas hampir setengah wilayah kerajaan
Kuru, Kandawaprastha juga merupakan ibukota
kerajaan Kuru yang dulu, sebelum Hastinapura. Para Pandawa dibantu sepupu mereka, yaitu Kresna dan Baladewa,
dan berhasil membuka Kandawaprastha menjadi pemukiman baru.
Para
Pandawa kemudian memperoleh bantuan dari Wiswakarma, yaitu ahli bangunan dari kahyangan, dan juga Anggaraparna
dari bangsa Gandharwa.
Maka terciptalah sebuah istana megah dan indah bernama Indraprastha, yang bermakna "kota Dewa Indra".
Pemerintahan Yudistira versi pewayangan Jawa
Pembangunan kerajaan Amarta
Dalam
versi pewayangan Jawa,
nama Indraprastha
lebih terkenal dengan sebutan kerajaan
Amarta. Menurut versi ini, hutan yang
dibuka para Pandawa
bukan bernama Kandawaprastha, melainkan bernama Wanamarta.
Versi
Jawa mengisahkan, setelah sayembara Dropadi,
para Pandawa tidak kembali ke Hastinapura melainkan menuju kerajaan
Wirata, tempat kerabat mereka yang bernama
Prabu Matsyapati berkuasa. Matsyapati yang bersimpati pada pengalaman Pandawa
menyarankan agar mereka membuka kawasan hutan tak bertuan bernama Wanamarta
menjadi sebuah kerajaan baru. Hutan Wanamarta dihuni oleh berbagai makhluk
halus yang dipimpin oleh lima bersaudara, bernama Yudistira, Danduncana,
Suparta, Sapujagad, dan Sapulebu. Pekerjaan Pandawa dalam membuka hutan
tersebut mengalami banyak rintangan. Akhirnya setelah melalui suatu percakapan,
para makhluk halus merelakan Wanamarta kepada para Pandawa.
Yudistira
kemudian memindahkan istana Amarta dari alam jin ke alam nyata untuk dihuni para Pandawa. Setelah itu, ia dan keempat adiknya menghilang. Salah satu
versi menyebut kelimanya masing-masing menyatu ke dalam diri lima Pandawa.
Puntadewa kemudian menjadi Raja Amarta setelah didesak dan dipaksa oleh keempat
adiknya. Untuk mengenang dan menghormati raja jin yang telah memberinya istana,
Puntadewa pun memakai gelar Prabu Yudistira.
Anugerah Ketentraman
Setelah
menjadi Raja Amarta, Puntadewa berusaha keras untuk memakmurkan negaranya.
Konon terdengar berita bahwa barang siapa yang bisa menikahi puteri Kerajaan
Slagahima yang bernama Dewi Kuntulwinanten, maka negeri tempat ia tinggal akan
menjadi makmur dan sejahtera. Puntadewa sendiri telah memutuskan untuk memiliki
seorang istri saja. Namun karena Dropadi mengizinkannya menikah lagi demi kemakmuran negara, maka ia
pun berangkat menuju Kerajaan Slagahima. Di istana Slagahima telah berkumpul
sekian banyak raja dan pangeran yang datang melamar Kuntulwinanten. Namun sang
puteri hanya sudi menikah dengan seseorang yang berhati suci, dan ia menemukan
kriteria itu dalam diri Puntadewa. Kemudian Kuntulwinanten tiba-tiba musnah dan
menyatu ke dalam diri Puntadewa. Sebenarnya Kuntulwinanten bukan manusia asli,
melainkan wujud penjelmaan anugerah dewata untuk seorang raja adil yang hanya
memikirkan kesejahteraan negaranya. Sedangkan anak raja Slagahima yang asli
bernama Tambakganggeng. Ia kemudian mengabdi kepada Puntadewa dan diangkat
sebagai patih di kerajaan Amarta.
Upacara Rajasuya
Kitab
Mahabharata bagian kedua atau Sabhaparwa mengisahkan niat Yudistira untuk menyelenggarakan upacara Rajasuya demi menyebarkan dharma dan menyingkirkan raja-raja angkara murka. Bima, Arjuna,
Nakula, dan Sadewa
memimpin tentara masing-masing ke empat penjuru Bharatawarsha (India Kuno) untuk mengumpulkan upeti dalam penyelenggaraan
upacara agung tersebut.
Pada
saat yang sama, seorang raja angkara murka juga mengadakan upacara mengorbankan
seratus orang raja. Raja tersebut bernama Jarasanda dari kerajaan
Magadha. Yudistira mengirim Bima dan Arjuna
dengan didampingi Kresna
sebagai penasihat untuk menumpas Jarasanda. Akhirnya, melalui sebuah
pertandingan seru, Bima berhasil membunuh Jarasanda.
Setelah semua persyaratan terpenuhi, Yudistira
melaksanakan upacara Rajasuya yang dihadiri sekian banyak kaum raja dan
pendeta. Dalam kesempatan itu, Yudistira ditetapkan sebagai Maharajadhiraja.
Kemudian muncul seorang sekutu Jarasanda bernama Sisupala yang menghina Kresna di depan umum. Setelah melewati
penghinaan ke-100, Krishna akhirnya memenggal kepala Sisupala di depan umum.
Kehilangan kerajaan
Lukisan dari Punjab, dibuat sekitar abad
ke-18, menggambarkan suasana aula
permainan dadu antara Pandawa
dan Korawa. Tampak dalam gambar, Dropadi yang berusaha ditelanjangi oleh Dursasana. Di sebelah kiri bawah, tampak kelima Pandawa sedang diam menerima kekalahannya.
Ketika
menjadi tamu dalam acara Rajasuya,
Duryodana sangat kagum sekaligus iri menyaksikan keindahan istana Indraprastha. Timbul niatnya untuk merebut kerajaan itu, apalagi setelah
ia tersinggung oleh ucapan Dropadi
dalam sebuah pertemuan. Sangkuni
membantu niat Duryodhana dengan memanfaatkan kegemaran Yudistira terhadap
permainan dadu. Yudistira memang seorang ahli agama, namun di sisi lain ia sangat menyukai permainan tersebut.
Undangan Duryodana diterimanya dengan baik. Permainan dadu antara Pandawa melawan Korawa
diadakan di istana Hastinapura.
Mula-mula Yudistira hanya bertaruh kecil-kecilan. Namun semuanya jatuh ke
tangan Duryodana berkat kepandaian Sakuni dalam melempar dadu.
Hasutan
Sangkuni membuat Yudistira nekad mempertaruhkan semua hartanya, bahkan Indraprastha. Akhirnya, negeri yang dibangun dengan susah payah itu pun
jatuh ke tangan lawan. Yudistira yang sudah gelap mata juga mempertaruhkan
keempat adiknya secara berurutan. Keempatnya pun jatuh pula ke tangan Duryodana
satu per satu, bahkan akhirnya Yudistira sendiri. Duryodana tetap memaksa
Yudistira yang sudah kehilangan kemerdekaannya untuk melanjutkan permainan,
dengan mempertaruhkan Dropadi.
Akibatnya, Dropadi pun ikut bernasib sama.
Ratapan
Dropadi saat dipermalukan di depan umum terdengar oleh Gandari, ibu para Korawa. Ia memerintahkan agar Duryodana menghentikan permainan dan
mengembalikan semuanya kepada Pandawa. Dengan berat hati, Duryodhana terpaksa mematuhi perintah
ibunya itu. Duryodana yang kecewa kembali menantang Yudistira beberapa waktu
kemudian. Kali ini peraturannya diganti. Barang siapa yang kalah harus
menyerahkan negara beserta isinya, dan menjalani hidup di hutan selama 12 tahun
serta menyamar selama setahun di dalam sebuah kerajaan. Apabila penyamaran itu
terbongkar, maka wajib mengulangi lagi pembuangan selama 12 tahun dan menyamar
setahun, begitulah seterusnya. Akhirnya berkat kelicikan Sakuni, pihak Pandawa
pun mengalami kekalahan untuk yang kedua kalinya. Sejak saat itu lima Pandawa
dan Dropadi menjalani masa pembuangan mereka di hutan.
Kehidupan dalam Pembuangan
Kehidupan
para Pandawa dan Dropadi
dalam menjalani masa pembuangan selama 12 tahun di hutan dikisahkan pada jilid
ketiga kitab Mahabharata
yang dikenal dengan sebutan Wanaparwa.Yudistira yang merasa paling bertanggung jawab atas apa
yang menimpa keluarga dan negaranya berusaha untuk tetap tabah dalam menjalani hukuman.
Ia sering berselisih paham dengan Bima yang ingin kembali ke Hastinapura untuk menumpas para Korawa. Meskipun demikian, Bima tetap tunduk dan patuh terhadap
perintah Yudistira supaya menjalani hukuman sesuai perjanjian.
Suatu
ketika para Korawa datang ke dalam hutan untuk berpesta demi menyiksa perasaan
para Pandawa. Namun, mereka justru berselisih dengan kaum Gandharwa yang
dipimpin Citrasena. Dalam peristiwa itu Duryodana tertangkap oleh Citrasena. Akan tetapi, Yudistira justru
mengirim Bima dan Arjuna untuk menolong Duryodana. Ia mengancam akan berangkat
sendiri apabila kedua adiknya itu menolak perintah. Akhirnya kedua Pandawa itu
berhasil membebaskan Duryodana. Niat Duryodana datang ke hutan untuk menyiksa
perasaan para Pandawa justru berakhir dengan rasa malu luar biasa yang ia
rasakan.
Peristiwa
lain yang terjadi adalah penculikan Dropadi oleh Jayadrata,
adik ipar Duryodana. Bima dan Arjuna berhasil menangkap Jayadrata dan hampir
saja membunuhnya. Yudistira muncul dan memaafkan raja kerajaan Sindu
Peristiwa Telaga Beracun &
Dharma Prashna
Pada
suatu hari menjelang berakhirnya masa pembuangan, Yudistira dan keempat adiknya
membantu seorang brahmana
yang kehilangan peralatan upacaranya karena tersangkut pada tanduk seekor rusa liar. Dalam pengejaran terhadap rusa itu, kelima Pandawa merasa haus. Yudistira pun menyuruh Sadewa mencari air minum. Karena lama tidak kembali, Nakula disuruh menyusul, kemudian Arjuna, lalu akhirnya Bima menyusul pula. Yudistira semakin cemas karena keempat
adiknya tidak ada yang kembali.
Yudistira
kemudian berangkat menyusul Pandawa dan menjumpai mereka telah tewas di tepi
sebuah telaga. Ada seekor bangau (Baka) yang mengaku sebagai pemilik
telaga itu. Ia menceritakan bahwa keempat Pandawa tewas keracunan air telaganya
karena mereka menolak menjawab pertanyaan darinya. Sambil menahan haus,
Yudistira mempersilakan Sang bangau untuk bertanya. Sang bangau lalu berubah
wujud menjadi Yaksa. Satu per satu pertanyaan demi pertanyaan berhasil ia jawab.
Inilah sebagian pertanyaan yang diajukan Yaksa pada Yudistira:
Yaksa: Apa
yang lebih berat daripada Bumi, lebih luhur daripada langit, lebih cepat
daripada angin dan lebih berjumlah banyak daripada gundukan jerami?
Yudhishthira:
Sang Ibu lebih berat daripada Bumi, Sang Ayah lebih luhur daripada langit,
Pikiran lebih cepat daripada angin dan kekhawatiran kita lebih berjumlah banyak
daripada gundukan jerami.
Yaksa:
Siapakah kawan dari seorang musafir? Siapakah kawan dari seorang pesakitan dan
seorang sekarat?
Yudhishthira:
Kawan dari seorang musafir adalah pendampingnya. Tabib adalah kawan seorang
yang sakit dan kawan seorang sekarat adalah amal.
Yaksa: Hal
apakah yang jika ditinggalkan membuat seseorang dicintai, bahagia dan kaya?
Yudhishthira:
Keangkuhan, bila ditinggalkan membuat seseorang dicintai. Hasrat, bila
ditinggalkan membuat seseorang kaya dan keserakahan, bila ditinggalkan membuat
seseorang bahagia.
Yaksa:
Musuh apakah yang tidak terlihat? Penyakit apa yang tidak bisa disembuhkan?
Manusia macam apa yang mulia dan hina?
Yudhishthira:
Kemarahan adalah musuh yang tidak terlihat. Ketidakpuasan adalah penyakit yang
tidak bisa disembuhkan. Manusia mulia adalah yang mengharapkan kebaikan untuk
semua makhluk dan Manusia hina adalah yang tidak mengenal pengampunan.
Yaksa:
Siapakah yang benar-benar berbahagia? Apakah keajaiban terbesar? Apa jalannya?
Dan apa beritanya?
Yudhishthira:
Seorang yang tidak punya hutang adalah benar-benar berbahagia. Hari demi hari
tak terhitung orang meninggal. Namun yang masih hidup berharap untuk hidup
selamanya. Ya Tuhan, keajaiban apa yang lebih besar? Perbedaan pendapat membawa
pada kesimpulan yang tidak pasti, Antara Åšruti saling berbeda satu sama lain, bahkan tidak ada seorang Resi yang pemikirannya bisa diterima oleh semua. Kebenaran
Dharma dan tugas, tersembunyi dalam gua-gua hati kita. Karena itu kesendirian
adalah jalan dimana terdapat yang besar dan kecil. Dunia yang dipenuhi
kebodohan ini layaknya sebuah wajan. Matahari adalah apinya, hari dan malam
adalah bahan bakarnya. Bulan-bulan dan musim-musim merupakan sendok kayunya.
Waktu adalah Koki yang memasak semua makhluk dalam wajan itu (dengan berbagai
bantuan seperti itu). Inilah beritanya.
Akhirnya,
Yaksa pun mengaku kalah, namun ia hanya sanggup menghidupkan satu orang saja.
Dalam hal ini, Yudistira memilih Nakula untuk dihidupkan kembali. Yaksa heran
karena Nakula adalah adik tiri, bukan adik kandung. Yudistira menjawab bahwa
dirinya harus berlaku adil. Ayahnya, yaitu Pandu memiliki dua orang istri. Karena Yudistira lahir dari Kunti, maka yang dipilihnya untuk hidup kembali harus putera yang
lahir dari Madri, yaitu Nakula.
Yaksa
terkesan pada keadilan Yudistira. Ia pun kembali ke wujud aslinya, yaitu Dewa Dharma.
Kedatangannya dengan menyamar sebagai rusa liar dan yaksa adalah untuk
memberikan ujian kepada para Pandawa. Berkat keadilan dan ketulusan Yudistira,
maka tidak hanya Nakula yang dihidupkan kembali, melainkan juga Bima, Arjuna,
dan Sadewa.
Yudistira dalam masa penyamaran
Setelah
12 tahun menjalani pembuangan di hutan, kelima Pandawa dan Dropadi
kemudian memasuki masa penyamaran selama setahun. Sebagai tempat persembunyian,
mereka memilih Kerajaan Matsya
yang dipimpin oleh Wirata.
Kisah ini terdapat dalam kitab Mahabharata jilid keempat atau Wirataparwa.
Yudistira
menyamar dengan nama Kanka di mana ia diterima sebagai kusir kereta Raja Wirata. Bima menjadi Balawa sebagai tukang masak, Arjuna menjadi
Wrihanala sebagai banci guru tari, Nakula menjadi Damagranti sebagai tukang
kuda, Sadewa menjadi Tantripala sebagai penggembala sapi, sedangkan Dropadi
menjadi Sailandri sebagai dayang istana.
Pada
akhir tahun penyamaran Pandawa, terjadi peristiwa serangan kerajaan
Kuru terhadap kekuasaan Wirata. Seluruh
kekuatan kerajaan Matsya
dikerahkan menghadapi tentara kerajaan Trigartha, sekutu Duryodhana. Akibatnya, istana Matsya menjadi kosong dan dalam keadaan
terancam oleh serangan pasukan Hastinapura. Utara
putera Wirata yang ditugasi menjaga istana, berangkat ditemani Wrihanala
(Arjuna) sebagai kusir. Di medan perang Wrihanala membuka samaran
dan tampil menghadapi pasukan Duryodana sebagai Arjuna. Seorang diri ia
berhasil memukul mundur pasukan dari Hastinapura tersebut. Sementara itu,
pasukan Wirata juga mendapat kemenangan atas pasukan Trigartha. Wirata dengan
bangga memuji-muji kehebatan Utara yang berhasil mengalahkan para Korawa seorang diri. Kanka alias Yudistira menjelaskan bahwa kunci
kemenangan Utara adalah Wrihanala. Hal itu membuat Wirata tersinggung dan
memukul kepala Kanka sampai berdarah.
Dalam
versi pewayangan Jawa, Wirata adalah nama kerajaan, bukan nama orang. Sedangkan
rajanya bernama Matsyapati. Dalam kerajaan tersebut, Yudistira atau Puntadewa menyamar
sebagai pengelola pasar ibu kota bernama Dwijakangka.
Saat
batas waktu penyamaran telah genap setahun, kelima Pandawa dan Dropadi
pun membuka penyamaran. Mengetahui hal itu, Wirata merasa sangat menyesal telah memperlakukan mereka dengan
buruk. Ia pun berjanji akan menjadi sekutu Pandawa dalam usaha mendapatkan
kembali takhta Indraprastha.
Yudistira saat Bharatayuddha
Ketika
para Pandawa pulang ke Hastinapura demi menuntut hak yang seharusnya mereka terima, Duryodana bersikap sinis terhadap mereka. Ia tidak mau menyerahkan Hastinapura kepada Yudistira. Berbagai usaha damai dilancarkan pihak
Pandawa namun selalu ditolak oleh Duryodana. Bahkan, Duryodana tetap menolak ketika Yudistira hanya
meminta lima buah desa saja, bukan seluruh Indraprastha. Pada puncaknya,
Duryodana berusaha membunuh duta Pandawa, yaitu Kresna, namun gagal.
Perang di Kurukshetra antara Pandawa dan Korawa tidak dapat lagi dihindari. Para
pujangga Jawa menyebut peristiwa itu dengan nama Bharatayuddha. Sementara itu dalam Mahabharata kisah perang besar tersebut ditemukan pada jilid keenam
sampai kesepuluh.
Awal pertempuran
Pada
bagian Bhismaparwa
dikisahkan bahwa sebelum perang hari pertama dimulai, Yudistira turun dari
keretanya berjalan kaki ke arah pasukan Korawa yang berbaris di hadapannya.
Duryodana mengejeknya sebagai pengecut yang langsung menyerah begitu melihat
kekuatan Korawa dan sekutu mereka. Namun, kedatangan Yudistira bukan untuk
menyerah, melainkan meminta doa restu kepada empat sesepuh yang berperang di
pihak lawan. Mereka adalah Bisma,
Krepa, Drona,
dan Salya. Keempatnya mendoakan semoga pihak Pandawa menang. Hal itu
tentu saja membuat Duryodana sakit hati.
Yudistira
kembali ke pasukannya. Ia mempersilakan siapa saja yang ingin pindah pasukan
sebelum perang benar-benar dimulai. Ternyata yang pindah justru adik tiri
Duryodhana yang lahir dari selir, bernama Yuyutsu, yang bergerak meninggalkan Korawa untuk bergabung bersama
Pandawa.
Pertempuran melawan Drona
Bisma memimpin pasukan Korawa selama sepuluh hari. Setelah ia tumbang, kedudukannya
digantikan oleh Drona,
yang mendapat amanat dari Duryodana supaya menangkap Yudistira hidup-hidup. Drona senang atas
tugas tersebut, padahal niat Duryodana adalah menjadikan Yudistira sebagai
sandera untuk memaksa para pendukungnya menyerah. Berbagai cara dilancarkan
Drona untuk menangkap Yudistira. Tidak terhitung banyaknya sekutu Pandawa yang
tewas di tangan Drona karena melindungi Yudistira, misalnya Drupada dan Wirata.
Akhirnya
pada hari ke-15, penasihat Pandawa, yaitu Kresna menemukan cara untuk mengalahkan Drona, yaitu dengan
mengumumkan berita kematian seekor gajah bernama Aswatama. Aswatama juga merupakan nama putera tunggal Drona.
Kemiripan nama tersebut dimanfaatkan oleh Kresna untuk menipu Drona. Atas
perintah Kresna, Bima segera membunuh gajah itu dan berteriak mengumumkan
kematiannya. Drona cemas mendengar berita kematian Aswatama. Ia segera
mendatangi Yudistira yang dianggapnya sebagai manusia paling jujur untuk
bertanya tentang kebenaran berita tersebut. Yudistira terpaksa bersikap tidak jujur.
Ia membenarkan berita kematian Aswatama tanpa berusaha menjelaskan bahwa yang
mati adalah gajah, bukan putera Drona.
Jawaban
Yudistira itu membuat Drona jatuh lemas. Ia membuang semua senjatanya dan duduk
bermeditasi. Tiba-tiba saja Drestadyumna putera Drupada
mendatanginya dan kemudian memenggal kepalanya dari belakang. Drona pun tewas
seketika. Dalam peristiwa ini yang paling merasa bersalah adalah Yudistira.
Pertempuran melawan Salya
Salya adalah kakak ipar Pandu yang terpaksa membantu Korawa karena tipu daya mereka. Pada hari ke-18, ia diangkat
sebagai panglima oleh Duryodana.
Akhirnya ia pun tewas terkena tombak Yudistira.
Naskah
Bharatayuddha
berbahasa Jawa Kuno
mengisahkan bahwa Salya
memakai senjata bernama Rudrarohastra, sedangkan Yudistira memakai senjata
bernama Kalimahosaddha.
Pusaka Yudistira yang berupa kitab itu dilemparkannya dan tiba-tiba berubah
menjadi tombak menembus dada Salya.
Sementara
itu menurut versi pewayangan
Jawa, Salya mengerahkan ilmu Candabirawa berupa raksasa kerdil mengerikan, yang jika dilukai jumlahnya justru
bertambah banyak. Puntadewa maju mengheningkan cipta. Candabirawa lumpuh
seketika karena Puntadewa telah dirasuki arwah Resi Bagaspati, yaitu pemilik asli ilmu tersebut. Selanjutnya, Puntadewa
melepaskan Jamus Kalimasada
yang melesat menghantam dada Salya. Salya pun tewas seketika.
Tantangan bagi Duryodana
Setelah
kehabisan pasukan, Duryodhana
bersembunyi di dasar telaga. Kelima Pandawa didampingi Kresna berhasil menemukan tempat itu. Duryodana pun naik ke darat
siap menghadapi kelima Pandawa sekaligus. Yudistira menolak tantangan
Duryodhana karena Pandawa pantang berbuat pengecut dengan cara main keroyok,
sebagaimana para Korawa
ketika membunuh Abimanyu
pada hari ke-13. Sebaliknya, Duryodana dipersilakan bertarung satu lawan satu
melawan salah seorang di antara lima Pandawa. Apabila ia kalah, maka kerajaan
harus dikembalikan kepada Pandawa. Sebaliknya apabila ia menang, Yudistira
bersedia kembali hidup di hutan.
Bima terkejut mendengar keputusan Yudistira yang seolah-olah
memberi kesempatan Duryodana untuk berkuasa lagi, padahal kemenangan Pandawa
tinggal selangkah saja. Dalam hal ini Yudistira justru menyalahkan Bima yang
dianggap kurang percaya diri. Duryodana meskipun bersifat angkara murka namun
ia juga seorang pemberani. Ia memilih Bima sebagai lawan perang tanding, yang
paling gagah di antara kelima Pandawa. Setelah pertarungan sengit terjadi cukup
lama, akhirnya menjelang senja Duryodana berhasil dikalahkan dengan dipukul
titik kelemahannya, yaitu paha. Ini sekaligus menuntaskan sumpah Bima yang akan
membunuh Duryodana karena penghinaannya terhadap Dropadi. Balarama marah dan
bertekad untuk membunuh Bima karena paha merupakan sasaran yang terlarang dalam
duel gada, namun diperingatkan oleh Kresna bahwa Bima hanya berusaha
menjalankan sumpahnya. Duryodana pun tewas secara perlahan setelah saling
bersilat lidah dengan Kresna.
Maharaja dunia
Setelah
perang berakhir, Yudistira melaksanakan upacara Tarpana untuk memuliakan mereka
yang telah tewas. Ia kemudian diangkat sebagai raja Hastinapura sekaligus raja Indraprastha. Yudistira dengan sabar menerima Dretarastra sebagai raja sepuh di kota Hastinapura. Ia melarang
adik-adiknya bersikap kasar dan menyinggung perasaan ayah para Korawa tersebut, namun Bima selalu saja menyinggung Dretarastra akan perbuatan anak-anaknya sehingga sang raja sepuh pun
lengser dari tahta Hastinapura.
Yudistira
kemudian menyelenggarakan Aswamedha Yadnya,
yaitu suatu upacara pengorbanan untuk menegakkan kembali aturan dharma di seluruh dunia. Pada upacara ini, seekor kuda dilepas untuk mengembara selama setahun. Arjuna ditugasi memimpin pasukan untuk mengikuti dan mengawal kuda
tersebut. Para raja yang wilayah negaranya dilalui oleh kuda tersebut harus
memilih untuk mengikuti aturan Yudistira atau diperangi. Arjuna mengirim
pasukan ke daerah utara, Bima ke timur, Nakula ke barat & Sahadewa ke
selatan.Akhirnya setelah beberapa pertempuran, semua kerajaan memilih membayar
upeti. Sekali lagi Yudistira pun dinobatkan sebagai Maharaja Dunia setelah
Upacara Rajasuya dahulu.
Lengser lalu naik ke sorga
Setelah
permulaan zaman Kaliyuga
dan wafatnya Kresna, Yudistira dan keempat adiknya mengundurkan diri dari
urusan duniawi. Mereka meninggalkan tahta kerajaan, harta, dan sifat
keterikatan untuk melakukan perjalanan terakhir, mengelilingi Bharatawarsha lalu menuju puncak Himalaya. Di kaki gunung Himalaya, Yudistira menemukan anjing dan
kemudian hewan tersebut menjdi pendamping perjalanan Pandawa yang setia. Saat
mendaki puncak, satu per satu mulai dari Dropadi, Sadewa,
Nakula, Arjuna,
dan Bima meninggal dunia. Masing-masing terseret oleh kesalahan dan
dosa yang pernah mereka perbuat. Hanya Yudistira dan anjingnya yang berhasil
mencapai puncak gunung, karena kesucian hatinya.
Dewa Indra,
pemimpin masyarakat kahyangan, datang menjemput Yudistira untuk diajak naik ke swarga dengan kereta kencananya. Namun, Indra menolak anjing yang
dibawa Yudistira dengan alasan bahwa hewan tersebut tidak suci dan tidak layak
untuk masuk swarga. Yudistira menolak masuk swargaloka apabila harus berpisah
dengan anjingnya. Indra merasa heran karena Yudistira tega meninggalkan
saudara-saudaranya dan Dropadi tanpa mengadakan upacara pembakaran jenazah bagi
mereka, namun lebih memilih untuk tidak mau meninggalkan seekor anjing.
Yudistira menjawab bahwa bukan dirinya yang meninggalkan mereka, tapi merekalah
yang meninggalkan dirinya.
Kesetiaan
Yudistira telah teruji. Anjingnya pun kembali ke wujud asli yaitu Dewa Dharma, Ayahnya. Bersama-sama mereka naik ke sorga menggunakan
kereta Indra. Namun ternyata keempat Pandawa tidak ditemukan di sana. Yang ada
justru Duryodana dan adik-adiknya yang selama hidup mengumbar angkara murka.
Indra menjelaskan bahwa keempat Pandawa dan para pahlawan lainnya sedang
menjalani penyiksaan di neraka.
Yudistira menyatakan siap masuk neraka menemani mereka. Namun, ketika
terpampang pemandangan neraka yang disertai suara menyayat hati dan dihiasi
darah kental membuatnya ngeri. Saat tergoda untuk kabur dari neraka, Yudistira
berhasil menguasai diri. Terdengar suara saudara-saudaranya memanggil-manggil.
Yudistira memutuskan untuk tinggal di neraka. Ia merasa lebih baik hidup
tersiksa bersama sudara-saudaranya yang baik hati daripada bergembira di sorga
namun ditemani oleh kerabat yang jahat. Tiba-tiba pemandangan berubah menjadi
indah. Dewa Indra muncul dan berkata bahwa sekali lagi Yudistira lulus ujian,
karena waktunya yang sebentar di Neraka adalah sebagai penebus dosa
ketidakjujuran Yudistira terhadap Drona soal kematian Aswatama. Ia menyatakan
bahwa sejak saat itu, Pandawa Lima dan para pahlawan lainnya dinyatakan sebagai
penghuni Surga, sementara para korawa akan menjalani siksaan yang kekal di
neraka.
Menurut
versi pewayangan Jawa, kematian para Pandawa terjadi bersamaan dengan Kresna ketika mereka bermeditasi di dalam Candi Sekar. Namun, versi ini kurang begitu populer karena banyak dalang yang lebih suka mementaskan versi Mahabharata yang penuh dramatisasi sebagaimana dikisahkan di atas.
sumber :
Tidak ada komentar:
Posting Komentar